Beranda Psikologi Quiet Quitting pada Gen Z Alasan dan Dampaknya

Quiet Quitting pada Gen Z Alasan dan Dampaknya

Quiet Quitting pada Gen Z Alasan dan Dampaknya

Pernah mendengar istilah quiet quitting? Istilah ini tidak merujuk pada tindakan mengundurkan diri secara diam-diam tanpa pemberitahuan. Melainkan, quiet quitting adalah fenomena yang tengah banyak dibicarakan, terutama di kalangan Generasi Z atau Gen Z. Fenomena ini muncul sebagai respons terhadap budaya kerja yang dinilai terlalu menuntut tanpa memberikan imbalan yang sepadan.

Mari kita bahas mengenai quiet quitting, alasan di balik tren ini, dan mengapa banyak Gen Z memilih pendekatan ini dalam bekerja.

Apa Itu Quiet Quitting?

Quiet quitting adalah istilah yang menggambarkan seseorang yang tetap bekerja, tetapi hanya memenuhi tanggung jawab sesuai deskripsi pekerjaannya, tanpa memberikan usaha tambahan. Mereka tidak lembur, tidak mengambil beban kerja berlebih, dan tidak mengejar promosi. Singkatnya, mereka bekerja sesuai kontrak tanpa memberikan usaha ekstra.

Ini bukan berarti mereka malas atau tidak serius dalam bekerja, melainkan mereka memilih untuk menjaga batasan yang jelas antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Jadi, quiet quitting bukanlah berhenti bekerja sepenuhnya, melainkan berhenti memenuhi ekspektasi untuk selalu memberikan lebih dari yang seharusnya.

Mengapa Quiet Quitting Menjadi Tren di Kalangan Gen Z?

  1. Kelelahan terhadap Budaya Kerja yang Terlalu Menuntut
    Gen Z tumbuh di era di mana hustle culture (budaya kerja keras tanpa henti) dianggap sebagai suatu kebanggaan. Namun, semakin banyak yang menyadari bahwa pola kerja seperti itu justru menyebabkan burnout, mengganggu kesehatan mental, dan mengurangi kebahagiaan hidup.
  2. Kompensasi yang Tidak Sebanding
    Banyak anak muda merasa bahwa kerja keras mereka tidak diimbangi dengan gaji atau manfaat yang memadai. Kenaikan jabatan pun tidak selalu menjamin kesejahteraan, sehingga mereka memilih untuk bekerja sesuai porsinya saja.
  3. Menjaga Keseimbangan Hidup dan Pekerjaan
    Bagi Gen Z, hidup tidak hanya tentang pekerjaan. Mereka sangat memperhatikan keseimbangan antara kehidupan pribadi dan profesional. Mereka percaya bahwa produktivitas tidak harus diukur dari seberapa sering mereka lembur, melainkan dari hasil kerja yang efisien.
  4. Teknologi yang Mengaburkan Batas Waktu Kerja
    Dengan adanya smartphone dan laptop, pekerjaan bisa masuk kapan saja, bahkan di luar jam kerja. Oleh karena itu, banyak Gen Z yang menetapkan batasan tegas: urusan kantor berakhir setelah jam kerja usai.

Tanda-Tanda Seseorang Melakukan Quiet Quitting

Mungkin Anda atau rekan Anda pernah mengalami hal ini tanpa menyadarinya. Berikut beberapa tanda seseorang telah menerapkan quiet quitting:

  • Datang dan pulang tepat waktu, tidak mau lembur kecuali benar-benar mendesak.
  • Tidak mengambil inisiatif untuk tanggung jawab tambahan.
  • Minim komunikasi dengan atasan atau rekan kerja di luar urusan pekerjaan.
  • Tidak tertarik mengikuti pelatihan atau program pengembangan karier.
  • Lebih fokus pada kehidupan pribadi, seperti hobi, bisnis sampingan, atau waktu istirahat.

Apakah Quiet Quitting Itu Salah?

Tidak selalu. Ini bukan tentang benar atau salah, melainkan tentang prioritas dan perspektif masing-masing individu. Bagi sebagian orang, karier adalah segalanya, tetapi bagi yang lain, pekerjaan hanyalah salah satu aspek kehidupan.

Selama karyawan tetap menyelesaikan tugasnya dengan baik sesuai kontrak, tidak ada yang salah dengan quiet quitting. Justru, fenomena ini bisa menjadi bahan refleksi bagi perusahaan: mengapa karyawan kehilangan motivasi untuk berkembang?

Quiet Quitting vs Kemalasan

Penting untuk membedakan quiet quitting dengan kemalasan. Orang yang malas cenderung tidak menyelesaikan tugasnya, sering terlambat, atau tidak memiliki etos kerja yang baik.

Sementara itu, orang yang menerapkan quiet quitting tetap profesional dan bekerja sesuai aturan, tetapi memilih untuk tidak memberikan usaha ekstra karena alasan tertentu, biasanya terkait kesehatan mental, kurangnya apresiasi, atau prospek karier yang tidak jelas.

Dampak Quiet Quitting pada Dunia Kerja

Fenomena ini membuat banyak perusahaan menyadari perlunya perubahan dalam memperlakukan karyawan. Mereka tidak bisa lagi mengharapkan loyalitas tinggi tanpa memberikan kejelasan jenjang karier, apresiasi, dan keseimbangan hidup.

Beberapa perusahaan mulai mengambil langkah positif, seperti:

  • Meningkatkan komunikasi dua arah.
  • Membuka peluang pengembangan keterampilan.
  • Memberikan apresiasi yang sesuai.
  • Menciptakan lingkungan kerja yang mendukung kesehatan mental.

Apakah Fenomena Ini Akan Berlanjut?

Melihat cara Gen Z memandang kehidupan dan pekerjaan, besar kemungkinan quiet quitting bukan sekadar tren sesaat. Ini lebih merupakan pergeseran gaya hidup yang menekankan keseimbangan hidup.

Terlebih setelah pandemi, kesadaran akan pentingnya waktu, kesehatan mental, dan kualitas hidup semakin meningkat. Dunia kerja di masa depan perlu beradaptasi dengan perubahan ini.

Bagaimana Menyikapi Quiet Quitting?

  • Bagi Karyawan: Jika Anda merasa burnoutquiet quitting mungkin menjadi sinyal untuk beristirahat. Namun, tetaplah berkomunikasi dengan atasan untuk mencari solusi terbaik.
  • Bagi Perusahaan: Evaluasi lingkungan kerja Anda. Apakah karyawan merasa dihargai? Apakah ada ruang untuk berkembang?

Penutup

Quiet quitting bukan tentang menyerah, melainkan tentang memahami batasan diri. Gen Z tidak malas, melainkan mereka lebih realistis dan berani memilih gaya hidup yang menjaga keseimbangan dan kesehatan mental. Pada dasarnya, mereka ingin dihargai, dihormati, dan tetap memiliki kehidupan di luar pekerjaan.

Di tengah dunia kerja yang semakin kompetitif, fenomena ini menjadi pengingat bahwa baik pekerja maupun perusahaan perlu saling memahami. Sebab, yang terpenting dari sebuah pekerjaan bukan hanya hasil akhir, tetapi bagaimana kita dapat menjalaninya dengan seimbang, sehat, dan bahagia.